Lama ku pandangi langit malam itu. Membayangkan wajah mu yang tersenyum indah ke arahku, di dampingi bintang bintang yang berkedip, membuatku enggan beranjak dari tempat terindahku saat itu. Dalam hati aku berbisik, “Aku merindukanmu kasihku. Entah kapan lagi kita bisa bertemu. Adakah kau merindukan ku seperti aku merindukanmu? Akan kah penantian ini akan berakhir sia sia?”
Tak terasa anak sungai dari mata ku mulai mengalir. Seakan tak kuasa menahan rindu yang begitu bergejolak di dada. Kini aku hanya sebatang kara, berharap dirinya selalu ada di sisi ku, menemani setiap jengkal kehidupan ku. Namun kini, kau jauh di sana. Kita terpisah oleh gunung dan luas samudra yang membentang. Tapi percayalah kasihku, aku tak pernah sedetik pun melupakanmu.
Aku memiliki sebuah keluarga yang berkecukupan. Aku terbilang pintar, baik hati, punya banyak talenta, bahkan orang sering memuji kalau aku cantik. Aku adalah anak tunggal. Tuhan itu memang adil, Dia memberiku banyak kelebihan, tapi tak demikian dengan perjalanan hidupku. Seimbang bukan??
Ya, ibu ku meninggal saat aku beranjak dewasa. Ayah ku kini sibuk dengan pekerjaannya. Jadi sekarang, aku hanya sebatang kara. Bahkan di saat aku sedang bertumbuh menjadi manusia dewasa, di saat aku membutuhkan sosok yang benar benar menyayangi dan membimbingku, ibuku tak ada. Dia sudah bahagia di surga.
Aku hanyalah seorang anak manusia yang berusaha mencari kesenangan dan kasih sayang dari orang orang di sekitarku. Sampai aku menemukan sosok Dimas, seorang pria yang bisa dengan ramah mengerti situasi hidupku. Hanya dia yang bisa mengisi hidupku dengan tawa, dengan senyuman, bahkan dengan tangisan. Tapi kini dia jauh di sana, Dia terpaksa mengikuti orangtuanya untuk meneruskan usaha keluarga. Sudah 3 tahun kami berpisah. Tapi rasa rindu ini tak pernah beranjak dari sisi kehidupanku.
Setelah lama memandangi langit malam itu, handphone ku tiba tiba berdering meminta ku untuk mengangkatnya. Ada secercah harapan saat ku memandang layar handphone ku, saat ku sadar nama yang tertera di layar adalah nama Dimas. Dengan segera aku menyambutnya. “Halo Dim, ada apa?”
“Aku hanya ingin memberi kabar gembira untuk mu Lin. Besok aku pulang, tugas ku di sini sudah selesai. Aku sudah tak sabar bertemu dengan mu.” Sahut suara di seberang itu.
“Wah, kamu tau Dim, aku baru saja memikirkan mu. Ternyata Tuhan mendengar doaku. Aku juga tak sabar menunggu mu Dim. Besok aku jemput di bandara ya. Jam berapa?”
“Ah tak usah lah Lin. Akan ada yang menjemputku besok. Kamu tenang saja. Ok putri ku? Hehehe.”
“Ok lah Dim. Jangan lupa kabari aku lagi ya. Aku sayang kamu.” Jawabku kemudian.
“Tak usah di ragukan, pastinya aku juga sayang kamu Lina.” Sambung Dimas dari sana.
Kututup telepon itu sambil tersenyum senang. Tak sabar menunggu hari esok. Akhirnya ku putuskan untuk kembali ke kamar dan beristirahat.
Esoknya aku bangun pagi dengan senyuman. Hari ini aku libur kuliah, jadi aku mau menunggu Dimas di rumah untuk bertemu denganku. Sudah terbayangkan oleh ku hal apa saja yang akan kami lakukan bersama. Siangnya, aku mulai sibuk dengan dapurku. Aku memang sudah terbiasa memasak sendiri, maklum lah aku kan hanya sebatang kara. Sedang asik asiknya aku berkutat dengan masakan ku, terdengar bunyi bel rumah. Ting tong… Tanpa pikir panjang, aku membuka pintu rumah berharap kasihku yang akan datang. Namun setelah pintu terbuka, kekecewaan sempat mampir di hatiku. Ternyata hanya seorang pengantar bunga.
“Selamat siang mbak. Ini ada kiriman bunga untuk mbak Lina.” Kata sang pengantar.
“Oh ya, terima kasih ya mas.” Sahutku sembari membaca nama si pengirim. Sejenak aku heran setelah membaca nama si pengirim, ternyata nama Dimas. Tapi kemana dia, kenapa tidak memberikan bunga itu langsung padaku. Setelah sang pengantar pergi, ku masih tetap berdiri di depan pintu. Ketika aku memalingkan wajahku, betapa terkejutnya aku saat ku lihat wajah Dimas kasihku itu. Dia tersenyum penuh kemenangan setelah berhasil membuat ku bingung.
Tanpa pikir panjang aku berlari untuk memeluknya. “Dimaaass… Aku sudah lama menunggu mu tau. Kenapa pakai acara ngerjain aku segala sih?!!”
“Hahahaha. Aku sengaja ingin melihat tampang mu yang lucu itu kalau sedang bingung. Aku kangen kamu Lin.” Jawabnya selagi kami berpelukan.
Kami pun berjalan masuk ke rumah. Aku segera ke dapur mengambil makanan yang sudah ku masak itu.
“Taarraaaa…. Aku masak spesial untuk mu Dim, ayam panggang kesukaan mu.” Kata ku sambil tersenyum.
“Wah, kamu tau saja kalau aku lagi lapar. Kamu memang yang terbaik Lina. Aku sayang kamu.”
“Ya sudah puji pujian nya, sekarang kita makan ya.” Jawabku kemudian.
Banyak yang kami ceritakan selagi Dimas menikmati masakan buatanku. Tak henti hentinya aku memandangi wajah kasihku itu. Dia pun dengan senyuman hangat membalas tatapan ku dengan penuh rasa kasih sayang. Jam demi jam pun berlalu, tak terasa hampir setengah hari kami habiskan bersama. Kini tiba saatnya kami berpisah untuk sementara. Aku mengantarkan Dimas sampai ke depan pintu.
“Besok aku jemput kamu ya Lin. Aku mau ngajak kamu jalan. Ok say?” ajaknya tersenyum.
“Ok ok Dim. Aku ga bakalan lupa kok. Kamu hati hati ya pulangnya, jangan ngebut ngebut. Aku ga mau sesuatu terjadi pada kamu. Aku ga mau kehilangan kamu.” Kataku serius dan penuh harap.
Tapi sejenak sempat terlihat raut putus asa di wajah Dimas setelah aku berkata demikian. Ah, mungkin hanya perasaan ku saja. Dimas pun lalu mencium keningku dan segera berlalu meninggalkan aku sendiri.
Esoknya aku sudah siap siap untuk pergi dengan kasihku itu. Segera aku menaiki mobil Dimas yang sudah dari tadi menunggu ku. “Mau kemana kita hari ini?” tanyaku.
“Kemana aja boleh… wkwkwkw” jawab nya dengan candaan.
“hahahaha. Dasar kamu tu ya, aku serius dimas. Kita mau kemana??”
“Pokoknya kamu duduk aja yang manis, diem aja, ga usah banyak protes. Aku mau bawa kamu ke tempat spesial. Ok ok ok?” jawabnya kemudian.
Tanpa banyak protes lagi, aku diam dan mulai melihat sisi jalan yang kami lewati. Sepanjang jalan, tak terlalu banyak kata yang keluar dari mulutku. Entah kenapa aku mulai merasa ada yang aneh saat itu. Tapi aku lebih memilih untuk tidak memikirkannya.
Akhirnya setelah beberapa jam perjalanan, kami sampai di tempat yang benar benar indah. Kini di depan mata ku sudah terhampar danau luas, bersih dan indah dihiasi awan putih di atasnya. Di situ hanya ada kami berdua karena danau ini memang belum terekspose ke luar. Tak henti henti nya aku mengucapkan terima kasih pada dimas karena sudah mengajak ku ke tempat seindah ini. Aku pun tersenyum sembari memandang wajahnya dengan penuh rasa kasih sayang.
“Aku memang sengaja ingin menghabiskan waktu bersama mu lebih lama Lin. Seakan tak ada lagi waktu ku untuk terus bersama mu.” Ucapnya sambil menatapku dalam.
“Dimas, kamu ngomong apa sih. Sekarang kan kita udah ketemu. Dan ga ada lagi yang bisa memisahkan kita. Jadi kamu ga usah takut gitu donk. Aku ga mau kehilangan kamu Dim. Selain kamu, siapa lagi yang akan menemaniku menjalani hidup ini.”
“Kamu ga boleh ngomong gitu Lina. Aku kan ga selamanya ada di sisimu terus. Kamu harus mencoba membuka hati dan dirimu sekarang. Jangan jadi murung gitu. Coba deh kamu senyum, pasti banyak kok orang di luar sana yang akan peduli dan berteman dengan mu.” Jawabnya tegas.
“Dim, kamu kok ngomongnya gitu? Seakan kamu akan pergi jauh meninggalkan aku. Emangnya kamu mau kemana lagi Dim?” tanyaku sambil menitikkan air mata.
“Hei, jangan nangis gitu donk. Untuk saat ini aku pasti akan berada dekat kamu terus Lin. Tapi kita kan ga tau apa yang akan terjadi besok sayang. Makanya aku Cuma ngingetin kamu supaya jangan terlalu bergantung ama aku. Aku ga mau kamu sedih karena kehilangan aku suatu saat nanti.” Kata Dimas sembari mengusap air mataku.
“Aku sayang kamu Dimas. Apapun yang terjadi, aku tetap sayang kamu!”
“Ya udah deh. Jangan di bahas lagi. Aku juga sayang kamu kok.”
Setelah kami mengakhiri pembicaraan itu, masih banyak pertanyaan yang ada di pikiran ku. Apa maksudnya Dimas mulai membahas tentang kebersamaan kami? Tapi ya sudah lah. Aku hanya ingin menikmati masa masa bersama nya sekarang. Setelah beberapa lama berada di sana, kami memutuskan untuk pulang. Dimas mengantarkan ku sampai di depan pintu dan tak lupa mengecup keningku.
Malamnya, seperti biasa aku melakukan aktifitas rutin, yaitu menelepon Dimas. Tapi hari ini tak seperti biasanya. Telepon ku tak di angkat olehnya. Berulang ulang kali aku mencoba menelepon, tapi tetap tak di angkat. Dengan rasa kesal dan penuh tanda tanya, akhirnya ku putuskan untuk tidur saja.
Esoknya pagi menyambutku. Hei, aku mulai sadar kalau pagi ada yang tak biasa. Burung burung yang biasanya menyambut pagi ku yang indah, tak terdenger kicauan nya. Sinar mentari yang biasanya menyapa kamarku pun mulai enggan singgah sementara ke kamarku. Entah apa yang akan terjadi, aku pun tak mengerti. Dan tiba tiba bel pintu pun berbunyi. Dengan malas aku turun untuk membuka kan pintu. Ternyata sang pengantar bunga yang datang. “Pasti dari Dimas” batinku dalam hati. Dengan senyuman ku terima karangan bunga mawar merah yang cantik itu. Setelah sang pengantar pergi, aku menutup pintu lalu masuk ke rumah. Di karangan bunga itu terdapat sepucuk surat. Wah, ga seperti biasanya Dimas menuliskan surat untuk ku. Dengan segera ku membuka surat itu.
“Dear Lina kasihku.
Maaf kalau suatu saat nanti kamu menerima suratku ini, aku tak berada si sisimu, aku sedang di rumah sakit Lina. Aku sedang menjalani sisa hidupku di sana sambil membayangkan wajah mu dan kenangan indah kita sampai aku menutup mata nantinya.
Satu hal yang harus kamu tau, aku sangat menyayangimu. Kamu yang terbaik untuk ku. Sebenarnya aku pun tak rela untuk meninggalkan mu, tapi mau di kata apa lagi, mungkin memang belum takdirnya kita untuk bersama.
Bila suatu saat nanti aku pergi, kamu jangan terlalu larut dalam kesedihan ya. Aku pasti ga bakalan tenang ngeliat kamu terus terusan sedih. Aku mau liat kamu tetap tegar walaupun aku dah ga bisa nemenin kamu lagi.
Ada yang harus kuceritakan padamu agar semuanya jelas Lin. Sebenarnya aku mengidap kanker hati. Tapi aku ga mau kasih tau kamu, aku tau kamu pasti bakalan sedih kalau mendengar kabar ini. Sudah lama aku menahan sakit ini Lin, tapi kamu tau, kalau aku ngeliat wajah mu, rasa sakit yang kurasakan bisa berkurang. 3 tahun kita tak bertemu. Aku tak bisa melihat wajahmu lagi selama 3 tahun itu, dan rasa sakit ini terus datang, tapi kamu ga ada di sisiku. Lama kelamaan sakit ini pun terus menggerogoti ku. Dan sampai aku di vonis bahwa umurku ga lama lagi. Saat itulah aku langsung memutuskan untuk menemui mu di sini. Bisa melihat wajahmu untuk yang terakhir kalinya saja pasti akan membuat ku lebih tenang. Terima kasih ya Lin, kamu dah nemani aku di saat terakhir hidupku. Kamu harus janji ya, jangan sedih terus gitu. Masih banyak kok orang di luar sana yang akan peduli ama kamu. Buat aku tersenyum di atas sana karna ngeliat kamu bahagia di sini ya Lin. Satu hal lagi yang harus kamu tau, meskipun aku jauh, aku kan selalu ada di hatimu.”
Air mata terus membanjiri pipiku ketika ku membaca surat itu. Tanpa pikir panjang lagi, aku segera berkemas dan menuju ke rumah sakit tempat kasihku berada. Aku harus bertemu dengan kasihku itu, harus!!
Sesampainya di rumah sakit, aku segera menuju kamar perawatan Dimas. Setelah pintu terbuka, air mata pun mulai membasahi pipiku lagi. Aku melihat sosok Dimas yang terbaring lemah, ia menatap kedatangan ku dengan senyuman. Bahkan di saat seperti ini ia masih bisa tersenyum untukku.
“Hai sayang. Kamu kenapa nangis? Jangan nangis gitu donk, aku kan ga apa apa.” Katanya parau.
Aku tak menjawab pertanyaan nya. Aku hanya berlari ke pelukannya sambil terus menangis.
“Lina, aku sayang kamu. Jangan nangis terus Lin, aku juga tambah sedih kalau kamu nangis gini. Umurku ga lama lagi, masa kamu memberiku saat saat terakhir dengan tangisan mu itu. Senyum donk Lin, supaya aku tenang. Please…” pintanya.
Kulepaskan pelukan ku lalu aku duduk di samping nya. Dengan terisak isak aku mencoba tersenyum untuk membahagiakan kasihku itu.
“Nah gitu donk. Aku kan senang melihatnya. Dari pada kamu nangis terus gitu.” Ucapnya sambil menahan sakit.
Aku terus menemani Dimas di rumah sakit. “Aku sayang kamu Lina. Jaga dirimu baik baik ya” itu adalah kata kata terakhir yang bisa ia ucapkan sebelum akhirnya dia tak sadarkan diri. Kini aku hanya bisa menunggu dan berharap agar Dimas kembali sadar dan bisa tersenyum lagi untukku. Namun Tuhan berkata lain, akhirnya Dimas pun meninggal setelah 24jam tak sadarkan diri. Aku hanya bisa menangis si samping tubuh Dimas yang sudah tak bernyawa lagi. “Aku ga bakalan pernah lupain kamu Dimas. Aku sayang kamu, lebih dari yang kamu tau.” Ucapku dalam hati sambil memandang wajah kaku Dimas kasihku itu.
Lama waktu berjalan setelah kepergian Dimas. Banyak hal yang bisa ku pelajari dari sosok kasihku itu. Dia masih bisa tersenyum untuk orang yang ia sayangi meskipun sebenarnya ia sedang menahan sakit. Dari situ aku belajar untuk terus tersenyum dan menatap masa depan yang telah menungguku di sana. Aku tak mau mengecewakan kasihku itu, aku harus bisa membuat nya tersenyum dari atas sana. Aku akan terus berjuang Dimas. Itu janjiku untukmu. Aku sayang kamu selalu.